Sikap
keagamaan merupakan suatu keadaaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap
agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan
terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur
afektif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi, sikap
keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama,
perasaan agama serta tindak keagamaan dalam dri seseorang.
Sikap
keagamaan dapat dilihat dari sikap yang ditampilkan dari unsur kognitif, afektif, dan konasi. Baiknya
sikap keagamaan seseorang tergantung dari keserasian antar ketiga unsur
tersebut dalam jiwa seseorang. Begitu juga sebaliknya, jika tidak serasi maka
akan mengalami gangguan atau ketimpangan dalam perilaku keagamaannya seperti
ateis, konversi agama, fanatisme dan lain-lain.
Sikap keagamaan terbentuk dari oleh
dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Perkembangan jiwa keagamaan
selain ditentukan oleh faktor ekstern juga ditentukan intern seseorang. Seperti
halnya aspek kejiwaan lainnya, maka para ahli psikologi agama mengemukakan
berbagai teori berdasarkan pendekatan masing-masing. Tetapi, secara garis
besarnya faktor-faktor yang ikut mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa
keagamaan antara lain faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi
kejiwaan seseorang.
A. Faktor Intern
Perkembangan
jiwa keagamaan selain ditentukan oleh faktor ekstern juga ditentukan oleh
faktor intern seseorang.
1.
Fitrah
Manusia
Fitrah Manusia Perbedaan hakiki
antara manusia dan hewan adalah bahwa manusia memiliki fitrah (potensi )
beragama. Setiapa manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif
(bersahaja) maupun yang modern, baik yang lahir di negara komunis maupun
beragama, baik yang lahir dari orang tua yang shalih maupun yang
jahat, sejak Nabi Adam sampai akhir zaman, menurut fitrahnya mempunyai
potensi beragama, keimanan kepada Tuhan, atau percaya terhadap suatu dzat
yang mempunyai kekuatan yang menguasai dirinya atau alam dimana dia hidup.
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara
alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama, sehingga fitrahnya itu
berkembang secara benar sesuai dengan kehendak Allah Swt.
Sebagaimana
Nabi SAW bersabda:
ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه او
ينصره او يمجسانه”
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah, maka ibu
bapaknya-lah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani dan
majusi”.
Pada dasarnya manusia lahir
dalam keadaan fitrah (potensi beragama), hanya faktor lingkungan (orang tua)
yang mempengaruhi perkembangan fitrah beragama anak. Dari sini, jiwa keagamaan
anak berkaitan erat dengan hereditas (keturunan) yang bersumber dari orangtua,
termasuk keturunan beragama.
1.
Tingkat
Usia
Dalam
bukunya The Development of Relegious
Children Ernest Harms mengungkapkan bahwa perkembangan pada anak-anak
ditentuka oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh
perkembangan berbagai aspek kejiwaan termasuk perkembngan berpikir. Ternyata,
anak yang menginjak usia berpikirkritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran
agama. Selanjutnya, pada usia remaja saat mereka menginjak usia kematangan
seksual, pengaruh itu pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka.
Hubunga
antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat
dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka
tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-ana, mengingat
ditingkat usia tersebut mereka lebih
menerima sugesti.
Terlepas
dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun
hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak
dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunujukkan
adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya
fator penentu dalam perkembangan jiwa seseorang.
1.
Kepribadian
Kepribadian
menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsure, yaitu unsur hereditas dan lingkungan. Adanya kedua unsure
yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi da
karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter
lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.
Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor intern yang
memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam kaitan ini, kepribadian sering
disebut identitas seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri
pembeda dan individu lain dluar dirinya. Dalam kondisi normal, memang secara
individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian. Dan perbedaan ini
diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspekaspek kejiwaan termasuk
jiwa keagamaan.
2.
Kondisi
Kejiwaan
Kondisi
kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Menurut SigmundFreud menunjukkan bahwa
gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran
manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal.
Gejala-gejala kejiwaan yang abnormal ini bersumber dari kondisi saraf,
kejiwaan, dan kepribadian. Kondisi kejiwaan
yang bersumber dari neourose ini menimbulkan gejala kecemasan neouros, absesi,
dan kompulsi dan amnesia.
Barangkali, banyak jenis perilaku abnormal yang
bersumber dari kondisi kejiwaan yang tak wajar. Tetapi, yang penting dicermati
adalah hubungannya dengan perkembangan jiwa keagamaan.
B. Faktor Ekstern
Faktor
ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat
dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup.
- Lingkungan Keluarga
Keluarga
merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Keluarga
merupakan lingungan sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga
menjadi fase sosialisasi bagi pembentukan keagamaan anak.
Sigmund
freud dengan konsep Father Image
menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra anak
terhadap bapaknya. Jika seorang bapak
menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, maka anak akan cenderung
mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku yang baik pula. Begitu sebaliknya.
Pengaruh
kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dala, pandangan islam
sudah lama disadari. Oleh Karen itu, sebagai intervensi terhadap perkembngan
jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab.
Keluarga dinilai sebagai faktor dominan dalam meletakkan dasar bagi
perkembangan jiwa keagamaan.
- Lingkungan Institusional
Lingkungan
intitusionalyang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa
instutusi formal seperti sekolah ataupun nonformal seperti berbagai perkumpulan
dan organisasi.
Sekolah
sebagai institusi penddikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan
kepribadian anak. Menurut Singgih D.
Gunarsa pengaruh itu dapat diberi tiga kelompok:
a)
Kurikulum dan anak
b)
Hubungan guru dan
murid
c)
Hubungan antar
anak.
Dilihat
dari kaitannya dengan perkembangan jiwakeagamaan, taampaknya ketiga kelompok
tersebut ikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembngan jiwa keagamaan
tak dapat dilepaskan dari uapaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam
ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan
tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, simpati, sosiabilitas,
toleransi, keteladanan, sabar, dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi
pembentukan sifat-sifat seperti itu umumnya menjadi bagian pendidikan
disekolah.
Melalui
kurikulum, yang berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladanan guru sebagai
pendidik serta pergaulan antarteman di sekolah dinilai berperan dalam
menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari
pembentukan normal yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan
seseorang.
- Lingkungan Masyarakat
Boleh
dikatakan setelah menginjak usia sekolah, sebagian besar waktu jaganya
dihabiskan di sekolah dan masyarakat.
Meskipun longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai
norma dan nilai-nilai yang di dukung warganya. Karena itu, setiap warga
berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai
yang ada.
Sepintas,
lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung
jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata
nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan, terkadang pengaruhnya
lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun
negatif.